III- PHASE PEMURNIAN MADZHAB.
Seperti disebutkan diatas, bahwa kehadiran dua tokoh –Imam Rofi’i dan Imam Nawawi- sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan madzhab Syafi’i, dari sini bisa dicatat bahwa kedua imam tersebut merupakan panutan bagi generasi berikutnya. Ijtihadnya merupakan pamungkas bagi madzhab Syafi’i, dan pendapatnya selalu jadi pegangan bagi ulama-ulama penerusnya, sehingga tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa keduanya adalah peletak dasar madzhab Syafi’i setelah Imam Syafi’i sendiri.
Dan ulama syafi’i sepakat bahwa pendapat yang paling mu’tamad dalam madzhab Syafi’i adalah pendapat yang disepakati kedua tokoh tersebut, dan apabila keduanya berbeda pendapat, maka pendapatnya Imam Nawawi yang harus didahulukan.[1]
Di bawah ini penjelasan singkat tentang kedua tokoh tersebut :
- Imam Rofi’i, Abdul Karim bin Muhammad Al-Qozwani.
Tokoh dan imam dalam Tafsir, Hasdits, Ushul dan Fiqh, pengarang yang produktif dalam Fiqh Syafi’i, dan yang paling terkenal ‘Al-Maharror’ yang merupakan panutan dan rujukan bagi ulama Syafi’i, dan merupakan kitab pokok dan mu’tamad bagi madzhab syafi’i.dan kitab tersebut bersumber dari kitab ‘Al-Wajiz’ karangan Imam Ghozali.[2]
Beliau juga mengarang kitab ‘Al-Sarhul Kabir’ dan ‘Al-Sarh As-Soghir’ yang keduanya adalah syarah atau penjabaran kitab ‘Al-Wajiz’. Dan dalam mensyarahi tersebut, beliau banyak membuat rujukan dari karangan-karangan kelompok Iroqiyin dan Khurosaniyin -sebagai usaha penggabungan dua kubu- di samping tentu saja dengan di topang oleh dalil-dalil dan ijtihad-ijtihad beliau sendiri.[3]
- Imam Nawawi, Yahya ibn Syarof
Muhaddis, Faqih, Ushuli dan pengarang kitab-kitab terkenal, antara lain :
1. Minhaj Al-Tholibin.
Kitab ini adalah syarh dari ‘Al-Muharror’nya Imam Rofi’i, dan methode Imam Nawawi dalam men-syarahi kitab tsb adalah: menjelaskan masalah-masalah yang tersebut dalam ‘Al-Muharror’, menambah sesuatu yang tidak tersebut dalam ‘’Al-Muharror”, menjelaskan sesuatu masalah yang dalam ‘Al-Muharror’ dijelaskan tapi keluar dari ketentuan madzhab, menjelaskan mana pendapat yang kuat dan mu’tamad dalam madzhab, menjabarkan lafadz/kalimat yang kurang jelas dan lain-lain.[4]
Walhasil kitab Minhaj –walaupun lebih ringkas- seakan merupakan syarah dari kitab muharror, seperti yang dikehendaki pengarangnya, dan lebih banyak memurnikan pendapat-pendapat yang mu’tamad dalam madzhab.
2. Al-Majmu’, Syarah Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq Al-Syirozi.
Kitab ini semacam ‘Ensiklopedi Fiqh’, sebab hampir semua pendapat –betapapun lemahnya- dijelaskan oleh Imam Nawawi, kemudian barulah Imam Nawawi memilah-milah mana yang kuat dan mana yang lemah, dan itu tidak terbatas dalam madzhab syafi’i saja, bahkan juga pendapat ulama-ulama fiqh diluar madzhab Syafi’i, bahkan juga diluar madzhab sunni.
3. At-Tanqih.
4. Al-Roudah, yang merupakan Syarh Al-Aziz nya Imam Rofi’i
5. Al-Tahqieq.
6. Al-Nukat.
7. Al- Fatawa.
8. Syarh Shohih Muslim. Dan lain-lain.
KEDUDUKAN PENDAPAT DAN KITAB-KITAB IMAM NAWAWI DAN IMAM ROFI’I DALAM MADZHAB SYAFI’I.
Ulama sepakat bahwa pendapat yang mu’tamad adalah pendapat yang disepakati Syaikhoni –Rofi’i dan Nawawi-, dan bila keduanya berbeda pendapat, maka pendapat Imam Nawawilah yang harus didahulukan, baru kemudian penda patnya Imam Rofi’i.[5]
Bahkan kesepakatan Nawawi dan Rofi’i lebih didahulukan dari pendapat Imam Syafi’i sendiri, padahal pendapat Imam Syafi’i bagi ulama madzhab ibaratnya seperti ‘Nash Al-Qur’an’ atau ‘Nash Al-Hadits’.[6]
Dan ini bisa diterima, mengingat ulama yang mengerti dan mendalami madzhab, tingkatannya adalah ‘Mujtahid Muqoyyad’.
Dan orang yang sampai pada level tersebut, dia selalu membandingkan pendapat Ulama dengan ‘Qoidah’ dan ‘Dasar-Dasar’ yang sudah diletakannya, sehingga tidak jarang –disaat terjadi benturan antara “Perkataan” dengan “Qoidah”- dia lebih mendahulukan “keharusan Qoidah”, dan meninggalkan “Pendapat” tersebut dengan menakwilinya.
Dalam kondisi seperti itu, sangat tidak tepat mengatakan: bahwa Mujtahid Muqoyyad tersebut tidak ‘tahu dan tidak mengerti’ pendapat imamnya; yang benar –seperti tersebut diatas- Mujtahid Muqoyyad tersebut sangat tahu, bahkan meng ‘kaji’ pandapat Imamnya, tetapi kemudian membelokkan dari arti dzohirnya dengan dalil-dalil.Dan yang demikian ini tidak bisa dikatakan: ‘Dia sudah keluar dari madzhab imamnya’.[7]
Adapun kedudukan “Kitab-Kitab” Nawawi dan Rofi’i, menurut mayoritas ulama: semua kitab–kitab Nawawi dan Rofi’i adalah ‘Kitab Mu’tamad’, bahkan ulama generasi muda ( Al-Muta’akhkhiruun ) melarang ‘merujuk dan berpegangan’ pada kitab-kitab yang sebelum Imam Rofi’i dan Nawawi, kecuali setelah dengan cermat meneliti bahwa itu adalah pendapat madzhab.[8]
Kemudian, tidak jarang pendapat Imam Nawawi dalam satu kitab berbeda dengan pendapatnya di kitabnya yang lain, untuk itu ulama membuat satu ‘ketentuan’ dalam menetapkan peringkat kitab-kitab Imam Nawawi dan men-tarjih nya sbb.[9]
1. Al-Tahqiq. (kitab yang paling shohih menurut المتأخرون ).
2. Al-Majmu’
3. Al-Tanqieh
4. Al-Roudoh dan Minhajut Tholibin
5. Al-Fatawa
6. Syarh Shohih Muslim
7. Tashieh Al-Tanbieh wa Nukkatihi.[10]
Ketentuan tersebut berlaku bagi mereka yang kurang mendalami persoalan madzhab, sedangkan bagi orang yang mengerti dan mendalami madzhab, maka cara men-tarjih diantara pendapat Imam Nawawi dalam kitab-kitabnya adalah mendahulukan dan mengambil pendapat Nawawi yang sesuai dengan pemikirannya sendiri berdasarkan dalil-dalil yang diketahuinya, tetapi harus tidak keluar dari qoidah yang sudah disepakati ulama yaitu ‘harus masih berada dalam ruang lingkup Ikhtiyarnya Nawawi dan Rofi’i’, artinya hak memilih bagi orang tersebut adalah memilih diantara pendapat-pendapat hasil ijtihadnya Nawawi, tanpa melihat mana yang terdahulu dan mana yang kemudian.[11]
IV- PHASE AKHIR / KETETAPAN.
Masa terus berjalan, sementara itu pendapat dan kitab-kitabnya Syaikhoni (Nawawi dan Rofi’i) terus membayang-bayangi ijtihad generasi berikutnya didalam menentukan pendapat madzhab, sampai akhirnya lahirlah ulama-ulama yang sangat teliti dan hati-hati didalam menganalisa pendapat madzhab, seperti Zakaria Al-Anshori (926 H) Syihab Al-Romli (973 H); Khotib Al-Syarbini (977 H); Syamsuddin Al-Romli (1004H); Ibn Hajar Al-Haithami (973 H), dan lain-lainnya.
Mereka sangat berperhatian terhadap kitab-kitabnya Imam Nawawi dan Imam Rofi’i, terutama kitab “Al-Minhaj” nya Imam Nawawi.
Syekh Zakariya Al-Anshori meringkas/Ikhtisor kitab tersebut dalam karyanya ‘Manhaj al-Tullab’.
Sedangkan Ibnu Hajar. Khotib Al-Syarbini dan Samsuddin Al-Romli menganalisa/men-syarahi kitab “al-Minhaj” dan menamakannya: ‘Tuhfatul Muhtaj’, ‘Mubghnil Muhtaj’ dan ‘Nihaytul Muhtaj’.
Kadang-kadang Ijtihad ketiga orang tersebut berbeda dengan pendapat Imam Nawawi dan Rofi’i, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa beliau keluar dari madzhab Syafi’i –seperti sudah dijelaskan didepan-.
PENDAPAT YANG DIANGGAP MU’TAMAD DALAM PHASE AKHIR.
Didepan sudah dijelaskan bahwa bagi ulama dipersilahkan memilih antara pendapat-pendapat ‘Syaikhoni’ (Nawawi dan Rofi’i) tanpa harus terikat dengan pendapatnya Ibnu Hajar dan Romli atau yang lainnya, dan ulama membatasi pilihan hanya pada pendapat-pendapatnya Imam Rofi’i dan Nawawi, mengingat mayoritas ulama tidak mengijinkan keluar dan berpaling dari pendapat ‘Dua Tokoh’ tersebut.[12]
Adapun yang masih belum sampai pada tingkatan ‘ulama’ dengan kreteria tersebut didepan –seperti umumnya orang-orang di zaman sekarang- mereka bebas memilih pendapatnya Ibnu Hajar atau Romli.[13]
Dan manakala keduanya berbeda pendapat, mana yang dianggap pendapat madzhab dan harus didahulukan? :
Menurut ulama Hadramaut, Syam, Akrod (Kurdi), Daghistan dan Mayoritas Penduduk Yaman: Pendapat Ibnu Hajar (dalam ‘al-Tuhfah’) yang dianggap ‘mu’tamad’ dan harus didahulukan.[14]
Sedang Mayoritas Ulama Mesir mengatakan, bahwa pendapat Romli yang paling mu’tamad, bahkan mereka ber-ikrar untuk tidak berfatwa kecuali dengan pendapatnya Imam Romli.[15]
Dan Ulama Al-Haromain (Makkah dan Madinah), pada awalnya selalu berpegangan pada pendapat Ibn Hajar. Kemudian ketika banyak Ulama Mesir yang datang, menetap, belajar dan mengajar di Haromain, mulailah tersebarnya pendapat Imam Romli, dan jadilah keduanya ‘Kitab Pegangan’ bagi Ulama Al-Haromain, bahkan Ulama-Ulama yang berperhatian dengan pendapat keduanya langsung mengambilnya tanpa pakai filter.[16]
Dan didalam perkembangannya, Syekh Muhammad Said Sumbul Al-Makki (1175 H) dan Ulama yang segaris dengannya menetapkan : “Tidak diperkenankan bagi Mufti berfatwa dengan hukum yang berbeda dengan pendapat Ibn Hajar dan Romli dalam al-Tuhfah dan al-Nihayah”.
Tetapi Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (1194 H) membolehkan berpaling dari ‘al-Tuhfah’ dan ‘al-Nihayah’, dan berpegangan pada kitab-kitab Ibn Hajar dan Romli selain ‘al-Tuhfah’ dan ‘al-Nihayah’.[17]
Dan urutan kitab-kitabnya Ibn Hajar adalah sebagai berikut :
1. Al-Tuhfah
2. Kemudian Fathul Jawad
3. Kemudian Al-Imdad
4. Kemudian Al-Fatawa dan Syarh Al-Ubab.[18]
Kemudian manakala Ibnu Hajar dan Romli tidak berpendapat dalam suatu masalah, generasi akhir ( al-Muta’akhkhirun )membuat urutan pendapat yang bisa dianggap mu’tamad dalam madzhab Syafi’i sbb.:
1. Syekh Zakariya Al-Anshori dalam kitabnya ‘Al-Bahjah Al-Shoghir’; lalu kitab ‘Al-Manhaj’ dan ‘Syarahnya’.[19]
2. Berikutnya Syekh Khotib As-Syarbini.
3. Berikutnya pendapat ‘Ashabul Hawasyi’ (Pengarang Hasyiyah), inipun dengan syarat tidak bertolak belakang dengan dasar-dasar dan qoidah madzhab[20], dan umumnya pendapat mereka sejalan dengan pendapat Imam Romli.[21]
Adapun Ashabul Hawasyi, urutannya sebagai berikut :
a- Ali Az-Zayyadi (1024H), pengarang ‘Hasyiyah ala Syarh Manhaj’.
b- Ahmad bin Qosim Al-Abbadi (994 H), pengarang ‘Hasyiyah ala Syarh Manhaj’ dan ‘Hasyiyah ala Thuhfah’.
c- Amiroh, Ahmad Syihabuddin
d- Sibromalisi, Ali bin Ali (1087 H), pengarang ‘Hasyiyah ala Syarh Al-Minhaj’
e- Ali Al-Halabi (1044 H)
f- As-Syuwairi
g- Al-Inani.
PENUTUP : KESIMPULAN.
Dari penjelasan didepan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Madzhab Syafi’i tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan tanpa keluar dari qoidah yang sudah digariskan oleh pendiri madzhab.
2. Pada akhirnya ulama Syafi’i sepakat bahwa pendapat yang paling kuat dan mu’tamad dalam madzhab adalah “Kesepakatan Imam Rofi’i dan Nawawi”, berikutnya “Tarjihnya Imam Nawawi”, berikutnya “Tarjihnya Imam Rofi’i”, berikutnya “Tarjihnya Ibnu Hajar dan Romli”.
3. Ada “Mata Rantai Emas” yang menghubungkan antara “Kitabnya Ibn Hajar dan Romli”dengan ulama-ulama pendahulunya sampai pada “Pendiri Madzhab: Imam Syafi’i”.
Sebab ‘Al-Nihayah’ dan ‘Al-Thuhfah’ adalah Syarahnya ‘Al-Minhaj’ nya Imam Nawawi yang merupakan mukhtashor dari ‘Al-Muharror’nya Imam Rofi’i; dan ‘Al-muharror’ adalah mukhtashor dari ‘Al-Wajiz’nya Imam Ghozali, sedang ‘Al-Wajiz’ adalah bersumber dari ‘Al-Wasith’, dan ‘Al-Wasith’ dari ‘Al-Basith’ (ketiganya karangan Imam Ghozali), dan’Al-Basith’ adalah cangkokan dari kitab ‘Nihayatul Mathlab’ karangan Imam Al-Haromain, dan ‘Nihayatul mathlab’ adalah syarah ‘Al-Mukhtashor’ nya Imam Muzani (murid Syafi’i), dan ‘Mukhtashor’ adalah ringkasan pendapat Imam Syafi’i. Wallohu a’lam
[1] Al-Kurdi, Al-Fawa’id Al-Madaniyah 22 menukil perkataan Imam Romli.
[2] Al-Biyairini, Hasyiyah ala Syarh Al-Minhaj 1/6; Daf’ Al-Khoyalat 5-6.
[3] Daf’ Al-Khoyaalaat 5-6.
[4] Minhaj Al-Tholibin : 2.
[5] Tuhfah Al-Muhtaj : 1/39; Fatawa ibnu Hajar :4/324; Al- Fawaid Al-Madaniyah :34; I’anah Al-Tholibin : 1/19; Bughyatul Musytarsyidin : 274; Tarsyihul Mustafidin :2-3
[6] Al-Fawaid Al-Madaniyah : 20-21, menukil pendapatnya Ibn Hajar
[7] Al-Fawaid Al-Madaniyah : 22, menukil pendapatnya Romli.
[8] Al-Tuhfah :1/39; Al-Fatawa li Ibn Hajar :4/324; Tarsyihul Mustafidin : 2.
[9] Ketentuan tersebut adalah ketentuan umum, sebab kadang-kadang dalam suatu masalah ketentuan tersebut tidak berbeda.
[10] Al-Thuhfah : 1/39; Al-Fatawa :4/324; Al-Fawaid Al-Madaniyah : 16,17,33,34,39; I’anah Tholibin : 4/234.
[11] Al-Madzhab Inda Syafi’i –Dr. Moh. Ibrohim : 40.
[12] Al-Fawaid Al-Madaniyah : 16,17,220.
[13] Ibid ; 36.
[14] Ibid ; 37; Bughyatul Musytarsyidin : 4, 274; I’anah Tholibin : !/19; Tarsyih Al-Mustafidin : 2,3.
[15] Al-Fawaid Al-Madaniyah : 41; I’anatut Tholibin : 1/19.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Perlu diperhatikan bahwa syarh Muhtasor Ba Fadlol lebih mu’tamad dibanding Al-Fatawa dan Al-Ubab
[19] Al-Fawaid Al-Madaniyah : 222.
[20] I’anatut Tholibin : 1/19.
[21] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar