Kamis, 06 Desember 2007

KERANCUAN KONSEP TAUHID VERSI WAHABI

Kerancuan konsep keesaan tuhan (tauhid) jenis ini –tauhid uluhiyah hanya diidentikkan dengan tauhid dalam peribadatan- yang mengakibatkan kerancuan pengikut Wahaby dalam menentukan obyek syirik sehingga mereka pun akhirnya suka menuduh kaum muslimin yang bertawassul (mencari penghubung dengan Allah) dan bertabarruk (mencari berkah) sebagai bagian dari pebuatan syirik. Karena kaum Wahaby menganggap bahwa denga perbuatan itu –tawassul dan tabarruk- berarti pelakunya telah menyembah selain Allah. Disaat menyembah selain Allah berarti ia telah meyakini ketuhanannya karena tidak mungkin menyembah kepada selain yang diyakininya sebagai Tuhan.


Kakaknya Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri faham Wahabi) yang bernama Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab al-Hanbali sendiri menghujat pemikiran adiknya yang menyimpang itu.


TAUHID DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN


Islam dibawa oleh Muhammad bin Abdillah saw. Sebagaimana fungsi pengutusan para nabi terdahulu, Muhammad Rasulullah saw diutus untuk mengajarkan ajaran pengesaan (tauhid) Allah swt dan untuk menyebarkan agama Ilahi yang terkenal denga sebutan Islam. Islam adalah agama tauhid yang menentang segala macam jenis syirik (penyekutuan) Allah swt. Atas dasar itu semua mazhab-mazhab dalam Islam selalu menyerukan akidah tauhid sebagai penentangan atas akidah syirik.


Kaum yang mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy (baca: Wahaby) selain mereka merasa diri sebagai paling monoteisnya (ahli tauhid) makhluk di muka bumi maka dengan otomatis merekapun akhirnya suka menuduh kelompok muslim lainnya yang tidak sepaham sebagai pelaku syirik, penyekutu Allah swt. Padahal terbukti bahwa para pengikut muslim lain -selain Wahaby- pun telah mengikrarkan Syahadatin (dua kalimat syahadat) dengan ungkapan “Tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Kalimat ini sebagai bukti bahwa seseorang telah dinyatakan muslim (pengikut Islam Muhammad) dan telah terjauhkan dari ajaran syirik yang diperangi oleh agama Islam dari berbagai mazhab Islam manapun.


Dalam tulisan ringkas ini kita akan sebutkan secara global apa dan bagaimana konsep keesaan Tuhan menurut al-Quran sehingga dapat menjadi pedoman dalam menentukan tauhid atau syiriknya sebuah keyakinan. Sekaligus akan menjadi jawaban terhadap tuduhan kaum Wahhaby terhadap kaum muslimin lainnya. Untuk artikel kali ini kita hanya mencukupkan dengan menggunakan dalil teks agama saja yang mencakup al-Quran dan as-Sunnah. Adapun untuk artikel selanjutnya akan kita perluas dalil kita kepada dalil-dalil lain.


Dalam pembahasan akidah Islam yang berdasarkan al-Quran disebutkan bahwa para ulama telah membagi akidah tauhid menjadi beberapa bagian. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa tingkatan tauhid versi al-Quran:


Pertama: Tauhid dalam Dzat Allah SWT


Tauhid Dzat juga dapat diistilahkan dengan Tauhid Dzati. Yang dimaksud dengan tauhid jenis ini adalah keyakinan bahwa Dzat Allah swt adalah satu dan tiada yang menyamai-Nya. Ajaran tauhid ini didasarkan atas ayat al-Quran yang tercantum dalam surat al-Ikhlash ayat 1 yang berbunyi: “Katakanlah: ”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”.


Kedua: Tauhid dalam Penciptaan (Khaliqiyah)


Yang dimaksud dengan keyakinan tauhid dalam penciptaan adalah suatu keyakinan yang menyatakan bahwa di alam wujud ini tiada pencipta –yang menciptakan secara murni dan independent secara penuh- lain selain Allah swt semata. Dalam arti, tiada yang mampu untuk memberi kesan secara independent berkaitan dengan sebenap alam wujud –baik yang bersifat material, maupun non materi seperti ruh dan malaikat- secara murni melainkan karena perintah, kehendak dan izin Allah swt, karena Ia penguasa alam semesta. Ajaran tauhid semacam ini disandarkan kepada ayat al-Quran yang terdapat dalam surat ar-Ra’d ayat 16 yang berbunyi: “…Katakanlah: Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.


Ketiga: Tauhid dalam Pengaturan/Pemeliharaan (Rububiyah)


Yang dimaksud dengan keyakinan tauhid jenis ini adalah berkaitan dengan keyakinan bahwa di alam wujud hanya terdapat satu pengatur yang bersifat sempurna secara mutlak dimana tidak lagi memerlukan terhadap selainnya. Sang pengatur itu adalah Allah swt, Tuhan seru sekalian alam. Adapun berbagai pengaturan yang dilakukan oleh malaikat –sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran- dan makhluk lainnya semuanya dapat terjadi karena izin-Nya. Tanpa izin Allah swt niscaya pengaturan makhluk-makhluk lain tidak akan pernah terjadi. Keyakinan tauhid jenis ini disandarkan kepada ayat al-Quran dari surat Yunus ayat 3 yang berbunyi: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasyi untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesuadah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”


Yang dimaksud dengan kata “Syafi’” (pemberi syafa’at) dalam ayat di atas tadi adalah penyebab-penyebab lain yang bersifat vertical. Disebut vertical karena semua yang terjadi di alam ini terjadi secara beruntun dan keterkaitan antara hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang harus kembali kepada sebab yang tiada lagi perlu terhadap sebab lain. Sebab Maha Sempurna yang tidak lagi memerlukan sebab lain itu adalah Allah swt. Dalam ayat tadi, disebutkan kata “” (syafi’) –yang sama arti dengan kata “adh-Dham” (memasukkan/campurtangan)- karena kesan apapun di alam semesta ini yang dihasilkan oleh segala sesuatu selain Allah swt harus melalui izin Allah swt.


Keempat: Tauhid dalam Penentuan Hukum (Tasyri’iyah)


Yang dimaksud dengan tauhid pada jenis ini adala suatu keyakinan yang menyatakan bahwa, tiada yang layak untuk menentukan hukum syariat melainkan Allah swt. Dalam arti, tiada yang berhak –secara mutlak- menghalalkan dan mengharamkan atau memerintahkan dan melarang secara syar’i melainkan Allah swt. Ajaran tauhid ini disandarkan kepada ayat 40 dari surat Yusuf yang berbunyi: “…Sesungguhnya hukum itu hanyalah kepunyaan Allah”.


Kelima: Tauhid dalam Ketaatan


Yang dimaksud dengan tauhid jenis ini adalah keyakinan akan ketiadaan yang layak ditaati secara esensial dan mutlak melainkan Allah swt. Jika kita diperintahkan untuk taat kepada Nabi, orang tua, ulama dan sebagainya, itu semua karena ketaatan kita kepada Allah swt. Dikarenakan Allah-lah yang memerintahkan kita taat kepada mereka. Hanya melalui izin Allah akhirnya kita mentaati mereka. ajaran tauhid ini disandarkan kepada ayat 16 dari surat at-Taghabun yang berbunyi: “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atilah…”.


Keenam: Tauhid dalam Kekuasaan (Hakimiyah)


Yang dimaksud dengan konsep tauhid ini adalah keyakinan bahwa segenap manusia adalah sama dimana tidak ada yang dapat menguasai satu atas yang lainnya. Akan tetapi kekuasaan dan kepemimpinan (wilayah) hanyalah milik Allah swt semata. Atas dasar itu, barangsiapa yang mempraktekkan konsep kekuasaan dan kepemimpinan di alam ini maka ia harus mendapat izin (legalitas) dari Allah swt. Tanpa itu maka ia telah mencuri hak Allah swt sehingga meniscayakan murka-Nya. Ajaran tauhid jenis ini disandarkan pada ayat 57 dari surat al-An’am yang berbunyi: “…Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.


Ketujuh: Tauhid dalam Pemberian Ampun dan Syafaat


Yang dimaksud dengan ajaran tauhid ini adalah keyakinan bahwa hak mutlak untuk memberikan ampunan dan syafaat hanyalah milik Allah semata. Dan kalaupun ada beberapa makhluk –dari jajaran para nabi, rasul, para syuhada’ dan kekasih Allah (waliyullah)- yang juga dapat memberi syafaat maka itu semua adalah karena izin dari Allah. Mereka tidak dapat mendapat kemampuam pemberan syafaat melainkan melalui izin Allah. Ajaran tauhid ini disandarkan kepada ayat 255 dari surat al-Baqaran yang berbunyi: “…Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah melainkan dengan izin-Nya…”. dan surat Aali Imran ayat 135 yang berbunyi: “…dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?”.


Kedelapan: Tauhid dalam Peribadatan


Tauhid jenis ini berarti keyakinan bahwa tiada yang layak disembah melainkan Allah swt semata. Dan tiada yang layak disekutukan dalam masalah peribadatan dengan Allah swt. Ini adalah konsep tauhid yang telah menjadi kesepakatan segenap kaum monoteis (ahli tauhid). Tiada seorang ahli tauhid pun yang menyangkal keyakinan itu. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat yang sangat mencolok dalam masalah-masalah kecil –cabang dari pembahasan tadi- antara mayoritas mutlak Ahlusunah wal Jamaah dengan kelompok Wahaby (Salafy Gadungan) dalam masalah seperti istighosah kepada para wali Allah, meminta doa dan bertawassul kepada mereka yang hal-hal tadi digolongkan prilaku syirik ataukah tidak? Apakah keyakinan diperbolehkannya hal-hal semacam tadi tergolong syirik karen tergolong beribadah kepada selain Allah swt ataukah tidak? Alhasil, singkat kata, perbedaan mencolok antara Wahaby dan Ahlusunah wal Jamaah bukan terletak pada konsep teuhid dalam peribadatan, namun lebih pada penentuan obyek akidah tersebut. Pada kesempatan selanjutnya (artikel selanjutnya) akan kita bahas satu persatu ketidakpahaman dan kerancuan ajaran kaum Wahaby dalam memahami permasalah itu akhirnya menyebabkan mereka terjerumus dalam jurusan pengkafiran kelompok lain (takfir) yang tidak sepaham dengan doktrin ajarannya. Dari situ akhirnya ia disebut dengan “jama’ah takfiriyah” (kelompok pengkafiran).


Setelah kita mengetahui secara singkat dan global tentang pembagian tahapan ajaran tauhid yang sesuai dengan ajaran al-Quran maka dalam tulisan kali ini, marilah kita menengok sejenak kerancuan pembagian akidah tauhid versi Wahabi yang menyebabkan mereka terjerumus ke dalam jurang pengkafiran.


Dalam buku-buku karya ulama Wahaby –sebagai contoh dapat anda telaah dalam kitab at-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab yang disyarahi oleh Abdul Aziz bin Baz- akan kita dapati bahwa ajaran tauhid menurut kaum Wahaby hanya mereka bagi menjadi dua bagian saja; tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) dan tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah). Lantas tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) mereka artikan dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Sedang mereka tafsirkan tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah) dengan tauhid dalam peribadatan (ubudiyah). Dengan kata lain, kaum wahabi telah mengidentikkan ketuhanan (uluhiyah) dengan peribadatan (ubudiyah), dan pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) dengan penciptaan (khaliqiyah). Dan akan jelas sekali kasalahan fatal dalam pembagian, pengertian dan pengidentikan semacam ini. Akan kita buktikan secara ringkas di sini.


Dalam masalah pokok bagian pertama, yaitu tentang tauhid dalam pengaturan/pemeliharaan (rububiyah) mereka artikan dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Padahal yang dimaksud dengan pengaturan dan pemeliharaan (rububiyah) adalah pengaturan dan pemeliharaan alam semesta setelah tercipta, pasca penciptaan. Kata “ar-Rab” yang berarti pemilik (as-Shohib) memiliki tugas untuk mengatur dan memelihara yang dimilikinya (al-marbub). Sebagaimana pemilik (rab) kendaraan, rumah dan kebun yang bertugas untuk mengatur dan memelihara semua itu. Maka tauhid dalam pemeliharaan dan pengaturan (rububiyah) jelas berbeda dengan tauhid dalam penciptaan (khaliqiyah). Walaupun pemeliharaan dan pengaturan berasal dari penciptaan. Dalam arti, konsep tauhid dalam pemeliharaan dan pengaturan alam semesta adalah imbas dari konsep tauhid dalam penciptaan Allah atas alam semesta.


Dalam masalah pokok bagian kedua, yaitu tentang tauhid dalam ketuhanan (uluhiyah) yang mereka tafsirkan dan identikkan dengan tauhid dalam peribadatan (ubudiyah). Jadi mereka jadikan tauhid dalam ketuhanan bertumpu pada ungkapan bahwa Tuhan (ilah) berarti obyek ibadah (ma’bud). Padahal Tuhan Hal itu memiliki banyak konsekuensi, bukan hanya sekedar obyek penghambaan. Jika kita lihat pada hakekatnya Tuhan (ilah) dan lafaz “Jalalah” (Allah) memiliki arti yang sama. Bedanya, kata “ilah” bersifat umum (nakirah) dan mencakup konsep universal tentang tuhan, namun “Allah” adalam nama obyek (isim ‘alam) yang bersifat khusus (makrifah) dan wujud riil (ekstensi) dari konsep universal tadi. Jadi sewaktu kita sebut kata “uluhiyah” yang berasal dari kata “ilah” maka tidak ada lain yang dimaksud melainkan kata “Allah” yang berarti lafadz Jalalah yang menunjukkan atas Tuhan Yang Esa (baca: satu), bukan hanya sekedar berarti “Dzat Yang disembah” (ma’bud). Kerancuan konsep keesaan tuhan (tauhid) jenis inilah yang mengakibatkan kerancuan pengikut Wahaby dalam menentukan obyek syirik sehingga mereka pun akhirnya suka menuduh kaum muslimin yang bertawassul (mencari penghubung dengan Allah) dan bertabarruk (mencari berkah) sebagai bagian dari pebuatan syirik. Karena kaum Wahaby menganggap bahwa dengan perbuatan itu –tawassul dan tabarruk- berarti pelakunya telah menyembah selain Allah. Disaat menyembah selain Allah berarti ia telah meyakini ketuhanannya karena tidak mungkin menyembah kepada selain yang diyakininya sebagai Tuhan. Kebodohan kaum Wahaby atas hakekat tauhid dan syirik. Naudzubulah min dzalik.


Sewaktu kaum muslimin (ahli tauhid) melakukan penghormatan terhadap obyek-obyek tertentu seperti bersimpuh di hadapan makam mulia Rasul sebagai rasa cinta dan penghormatan, mencium mimbar Rasul untuk bertabarruk (mencari berkah), bertawassul kepada Allah melalui para nabi, rasul dan kekasih (wali) Allah dst, sementara di hati mereka tetap meyakini hanya Allah swt yang memiliki sifat ketuhanan dan tidak mengangap obyek-obyek yang dihormatinya tersebut memiliki kekhususan tiga hal di atas tadi –meyakini ketuhanan, pengaturan dan independensi obyek- maka ia tetap tergolong muslim dan sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai pelaku syirik.


Salah satu kerancuan yang sangat mendasar dalam memahami konsep tauhid dan syirik versi Wahaby adalah kesalahpahaman mereka dalam memaknai konsep tauhid dalam peribadatan (tauhid fil ibadah). Dalam kitab-kitab Mu’jam (katalog bahasa Arab) disebutkan bahwa kata “ibadah” dari sisi bahasa memiliki arti “merendah diri” (khudhu’) ataupun “menghinakan diri” (tadzallul). Hal inilah yang disebutkan oleh Raghib al-Isbahani dan Ibnu Mandhur dalam kitab karya-karya mereka. Jadi, secara bahasa dan arti umum ibadah berartikan menampakkan perendahan diri dan ketaatan. Namun jika dilihat dari sisi istilah yang dipakai dalam akidah Islam dan makna khusus maka ibadah tidak dapat disamaartikan hanya dengan perendahan diri dan ketaatan. Hal itu dikarenakan banyak hal yang dalam kehidupan sehari-hari kita dan termasuk perintah agama yang terdapat teks agama Islam (al-Quran dan Hadis) pun akan masuk kategori ibadah kepada selain Allah; sebagai contoh:


1- Ketundukan dan kepatuhan seorang anak terhadap orang tuanya maka akan tergolong ibadah kepada keduanya:


“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil” (QS al-Isra’: 24).


2- Sujud para Malaikat kepada nabi Adam maka akan masuk kategori peribadatan Malaikat terhadap Adam:


“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah[36] kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.(QS al-Baqarah: 34)


3- Sujud nabi Ya’qub beserta anggota keluarganya di hadapan nabi Yusuf maka akan tergolong ibadah terhadap Yusuf:


“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”. (QS Yusuf: 100)


4- Merendahkan diri seorang mukmin terhadap saudaranya sesama mukmin juga akan tergolong beribadah kepadanya:


“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap merendah (adzillah) terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.(QS al-Maidah: 54)


Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang tidak kita sebutkan di sini untuk mempersingkat tulisan. Sebagian kehidupan kita sehari-hari pun akan dapat digolongkan beribadah kepada selain Allah swt jika ternyata ibadah diartikan sama dengan hanya sekedar merendah diri, tunduk dan taat kepada selain Allah. Kerendahan diri dan Ketaatan seorang murid terhadap guru, kopral terhadap jendral, bawahan terhadap atasan dan sebagainya maka semua akan masuk kategori ibadah. Ini semua jika peribadatan diartikan secara umum seperti hal tersebut. Atas dasar itu, maka harus dibedakan antara definisi dan pengertian umum (dari sisi bahasa) dan pengertian khusus (dari sisi istilah) dari ibadah. Letak kerancuan akidah dan konsep tauhid dan syirik versi Wahabisme terdapat pada pencampuradukkan antara makna umum dan makna khusus dari arti ibadah tadi.


Ada tiga poin yang ketiganya dapat dijadikan tolok ukur dan pembatas konsep ibadah dalam istilah Islam yang meniscayakan pelakunya dapat divonis sebagai seorang politeis (syirik) atau monoteis (tauhid):


Pertama: Meyakini akan sifat ketuhanan (uluhiyah) bagi yang diibadahi (obyek ibadah).


Keyakinan akan ketuhanan sesuatu terkadang secara riil bahwa sesuatu tersebut memang Tuhan alam semesta, akan tetapi juga terkadang obyek yang diyakininya ternyata bukanlah obyek hakiki Tuhan, melainkan tuhan palsu. Jadi, keyakinan seseorang terhadap ketuhanan sebuah obyek terkadang benar dan sesuai realita, terkadang pula merupakan penipuan belaka. Allah swt adalah obyek riil Tuhan alam semesta. Adapun selainnya adalah contoh-contoh konkrit tuhan palsu yang dituhankan oleh manusia.


Adapun bukti-bukti ayat al-Quran yang menguatkan poin tersebut, sebagai contoh:


1- “Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS at-Thuur: 43)


Dalam ayat ini jelas sekali bahwa Allah swt menjadikan sifat ketuhanan sebagai tolok ukur penyekutuan (syirik) dalam konsep bertuhan.


2- “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri”. (QS ash-Shofaat: 35)


Kaum musyrikin menolak ungkapan tersebut dikarenakan mereka telah meyakini akan kepemilikikan obyek yang mereka jedikan sekutu Allah itu juga memiliki sifat ketuhanan. Dan menyembahnya karena khayalan mereka yang menyatakan bahwa obyek tadi telah memiliki sifat ketuhanan. Atas dasar itu, Allah swt berfirman dalam surat al-Ghafir (al-Mukmin) ayat 12 dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah Karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan”.


3- “Dan apabila Hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati”.(QS az-Zumar: 45)


Ayat-ayat semacam ini sangat banyak sekali dalam al-Quran dimana kaum musyrikin enggan jika tuhan-tuhan mereka tidak disebut-sebut.


4- “(yaitu) orang-orang yang menganggap adanya Tuhan yang lain di samping Allah; Maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya)”.(QS al-Hijr: 96)


Ayat ini jelas bahwa tolok ukur kesyirikan dalam perspektif al-Quran. Yaitu dengan meyakini ketuhanan obyek lain selain Allah.


Kedua: Meyakini akan sifat pengaturan dan pemeliharaan (rububiyah) bagi obyek yang diibadahi.


Konsekuensi dari keyakinan pertama tadi adalah munculnya keyakinan kedua ini, Tuhan/tuhan sebagai pengatur dan pemelihara semesta alam sebagaimana yang disinggung dalam ayat-ayat semacam:


1- “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.(QS al-Baqarah: 21)


2- “(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu”.(QS al-An’am: 102)


Ketiga: Meyakini akan independensi dalam pelaksanaan segala prilaku yang dikerjakan oleh obyek yang diibadahi. Independensi dalam arti tanpa perlu bantuan dari selainnya. Hanya Allah-lah yang memiliki independensi dalam segala sesuatunya. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-ayat seperti:


1- “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS al-Baqarah: 255)


2- “Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). dan Sesungguhnya Telah merugilah orang yang melakukan kezaliman”. (QS Thaha: 111)


Indepependensi dan tanpa perlu bantuan dari selainnya ini terkadang berupa keyakinan bahwa obyek yang dituhankan tersebut memiliki eksistensi (wujud) dan esensi (dzat) independen. Seperti keyakinan kaum musyrikin yang meyakini akan keindependenan tuhannya para tuhan (maha tuhan). Atau terkadang pula berupa keyakinan bahwa obyek yang dituhankan tersebut tidak memiliki independensi dalam eksistensi dan esensinya. Akan tetapi ia memiliki otoritas seperti yang dimiliki oleh tuhan (maha tuhan) seperti: pengaturan bagian dari alam, pengampunan dosa, pemberian berkah, penyembuhan penyakit dsb. Akan tetapi keyakinan itu tetap bertumpu bahwa mereka semua (tuhan-tuhan kecil) melakukan hal itupun berlandaskan atas keindependenan pula. Oleh karenanya obyek-obyek itu tetap mereka yakini sebagai tuhan, walaupun dengan skup yang lebih kecil. Otoritas yang dimiliki oleh tuhan-tuhan kecil tadi didapat dari pelimpahan otoritas secara utuh (tafwidh) dari obyek yang disebut ‘maha tuhan’.


Tiga hal di atas tadilah yang menjadi tolok ukur dan batasan seseorang dapat divonis sebagai monoteis ataupun polyteis. Jika ada seseorang menunduk, merendahkan diri bahkan bersujud –sekalipun- di hadapan sesuatu (obyek tertentu) namun jika tidak dibarengi dengan ketiga syarat di atas tadi –keyakinan akan ketuhanan, kepengaturan dan keindependenan obyek yang disujudi- maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku syirik, sebagaimana sujudnya nabi Ya’qub beserta keluarganya di hadapan dan untuk nabi Yusuf.


Dari sini jelas sekali bahwa sewaktu kaum muslimin (ahli tauhid) melakukan penghormatan terhadap obyek-obyek tertentu seperti bersimpuh di hadapan makam mulia Rasul sebagai rasa cinta dan penghormatan, mencium mimbar Rasul untuk bertabarruk (mencari berkah), bertawassul kepada Allah melalui para nabi, rasul dan kekasih (wali) Allah dst, sementara di hati mereka tetap meyakini hanya Allah swt yang memiliki sifat ketuhanan dan tidak mengangap obyek-obyek yang dihormatinya tersebut memiliki kekhususan tiga hal di atas tadi –meyakini ketuhanan, pengaturan dan independensi obyek- maka ia tetap tergolong muslim dan sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai pelaku syirik.


Untuk masalah ini ada buku yang cukup lengkap dan sangat bagus yang berjudul “Kritik Atas Faham Wahabi” karangan Ja’far Subhani. Setelah membaca buku ini saya yakin kita akan lebih memahami Ilmu Tauhid yang benar dan tidak gampang menuduh orang lain Syirik. Kita juga dapat membedakan antara “penghormatan” kepada sesama makhluk dan “penghambaan kepada Kholiq (Allah)”.


Dalam membedakan antara konsep tauhid dan syirik dalam prilaku masyarakat kita tidak boleh hanya melihat sisi zahir saja. Harus dibedakan antara perendahan diri, menghinakan diri dan ketaatan yang umum dilakukan oleh masyarakat (‘urf) –seperti perendahan diri (baca: penyembahan) para abdi dalem keraton Solo/Yogya terhadap sang raja- dengan perendahan diri yang masuk kategori ibadah. Sebagaimana harus dibedakan antara sujud para malaikat di hadapan dan untuk nabi Adam, atau sujud nabi Yakqub beserta keluarganya di hadapan dan untuk nabi Yusuf dengan sujudnya para kaum musyrikin di hadapan berhala-berhala (baca: tuhan-tuhan) selain Allah swt.


Sebagaimana sebelumnya pernah dikatakan, bahwa tolak ukur dan garis pembatas antara konsep tauhid dan syirik terletak pada tiga hal yang masing-masing memiliki dalil ayat al-Quran:


A- Meyakini akan sifat ketuhanan (uluhiyah) bagi yang diibadahi (obyek ibadah).

B- Meyakini akan sifat pengaturan dan pemeliharaan (rububiyah) bagi obyek yang diibadahi.

C- Meyakini akan independensi dalam pelaksanaan segala prilaku yang dikerjakan oleh obyek yang diibadahi.


Dari ketiga tadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tolok ukur dan pembatas antara konsep tauhid dan syirik bukan terletak dari sisi zahir belaka, namun lebih pada sisi keyakinan yang berkaitan dengan sisi batin seseorang.


Ayat-ayat yang berkaitan dengan poin pertama sangatlah banyak jumlahnya sehingga tidak perlu lagi untuk diperjelas satu persatu dalam tulisan ringkas ini, untuk mempersingkat tulisan.


Adapun yang berkaitan dengan poin kedua, ada dua ayat yang akan kita jadikan obyek penjelasan kita;


- Ayat Pertama yang terletak dalam surat al-Baqarah ayat 21, dimana Allah telah berfirman: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.


- Ayat Kedua yang terletak dalam surat al-An’am ayat 102, dimana Allah telah berfirman: “(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu”.


Jika kita teliti dari dua ayat di atas tadi maka akan kita dapati bahwa kata “Tuhanmu” dalam ayat pertama (QS al-Baqarah: 21) dan kata “Tuhanmu yang telah menciptakanmu” pada ayat kedua (QS al-An’am: 102) membuktikan bahwa penyebab pengkategorian suatu perbuatan sebagai prilaku syirik adalah dengan meyakini obyek ibadah sebagai pencipta yang sekaligus sebagai pemelihara dan pengatur alam semesta. Jadi hanya sekedar menampakkan tunduk, patuh dan hormat di hadapan sesuatu tanpa adanya keyakinan akan sifat pencipta (khaliq), pengatur dan pemelihara (rab) pada susatu tersebut niscaya tidak tergolong syirik. Atas dasar itu, Allah swt dalam al-Quran telah menafikan sifat pencipta dan pengatur juga pemelihara atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dengan firman-Nya: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba”. (QS Maryam: 93)


Keyakinan akan kepemilikan suatu obyek akan sifat pemelihara dan pengatur meniscayakan keyakinan bahwa ia (obyek tadi) memiliki otoritas dalam hal yang berkaitan dengan penghambaan. Peniscayaan itu bisa jadi berbentuk otoritas penuh yang mencakup segala aspek kehidupan hamba sebagaimana kepemilikan sifat tadi oleh Allah swt berkaitan dengan semua perkara hamba-hamba-Nya, sebagai halnya keyakinan kaum monoteis. Ataupun otoritas yang hanya berkaitan dengan hal-hal tertentu saja, seperti berhubungan dengan pemberian syafa’at, ampunan, hajat, menjauhkan dari bencana sebagaimana yang diyakini oleh kaum politeis berkaitan dengan tuhan-tuhan palsu mereka. Atas dasar itu maka Allah swt menafikan kemampuan tuhan-tuhan tadi dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki manfaat apapun dengan firman-Nya: “Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”. Katakanlah: “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?””. (QS ar-Ra’d: 16) Dalam ayat lain Allah swt berfirman: “Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya”. (QS al-Isra’: 56) Sebagaimana firman Alla swt dalam ayat 87 dari surat Maryam yang berbunyi: “Mereka tidak berhak mendapat syafa’at kecuali orang yang Telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menafikan secara tuntas semua perkara yang hanya dimiliki oleh Allah swt secara independen dari tuhan-tuhan palsu kaum politeis tadi.


Adapun yang berkaitan dengan poin ketiga bahwa Tuhan harus bersifat independen baik dari sisi esensi dzat maupun perbuatan-Nya. Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan lalu, ayat yang dapat dijadikan contoh adalah surat al-Baqarah ayat 255 (Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus) dan surat Thaha ayat 111 (Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan yang hidup kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya)) yang keduanya membuktikan bahwa Ia adalah Dzat Yang berdiri sendiri (independen) dan tidak memiliki aroma fakir sedikitpun sehingga meniscayakan-Nya butuh terhadap sesuatu yang lain. Sebaliknya, segala sesuatu selain-Nya membutuhkan diri-Nya dan fakir di hadapan-Nya. Jika ada seorang pribadi yang meyakini bahwa ada sesuatu lain selain Allah swt yang memiliki sifat pencipta, pengatur dan pemelihara maka dapat dipastikan bahwa ia tergolong musyrik (penyekutu Allah).


Begitu pula dengan seseorang yang meyakini bahwa sesuatu selain Allah tadi memiliki kemampuan memberi syafa’at, pengampunan dosa, memenuhi kebutuhan (hajat) dan kemampuan lain secara independent, dalam arti tanpa bantuan siapapun termasuk Allah, maka ia tergolong pelaku syirik.


Atau siapapun yang meyakini bahwa Allah swt telah pelimpahan otoritas secara penuh (tafwidh) kepada pribadi atau sesuatu sehingga mampu melakukan hal-hal yang berkaitan dengan otoritas Tuhan tanpa perlu lagi kepada-Nya, inipun dapat digolongkan kepada keyakinan musyrik. Dalam masalah pelimpahan secara penuh yang diistilahkan dengan “at-Tafwidh” tadi memiliki pembahasan yang sangat luas. Ada beberapa bentuk pelimpahan yang dapat secara ringkas kita singgung di sini:


1- Pelimpahan otoritas yang Allah swt berikan kepada para makhluk-Nya yang terbaik, baik dari golongan malaikat, para nabi/rasul juga para kekasih (wali) Allah. Pelimpahan semacam ini dapat diistilahkan dengan “at-Tafwidh at-Takwini” (pelimpahan dalam urusan tata cipta). Atas dasar ini akhirnya manusia-manusia sesat menganggap bahwa Isa (versi Kristen) atau Uzair (versi Yahudi) adalah anak Allah swt.


2- Pelimpahan otoritas yang Allah swt berikan kepada hamba-hamba-Nya dalam masalah penentuan perundang-undangan, hukum syariat, pengampunan dosa, pemberian syafaat ataupun pengkabulan hajat. Pelimpahan semacam ini dapat disitilahkan dengan “at-Tafwidh at-Tasyri’i” (pelimpahan dalam urusan tata tinta). Atas dasar ini Allah swt dalam al-Quran menyatakan bahwa kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah menuhankan para rohaniawan mereka:


“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS at-Taubah: 31)


Tentu maksud dari ayat di atas tadi bukanlah lantas mereka menyembah dalam arti beribadah untuk mereka. Namun menjadikan mereka tuhan dalam arti para Ahli Kitab itu mematuhi (taklid) terhadap ajaran-ajaran rohaniawan dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta tanpa melihat dasar-dasar kebenarannya, biarpun para rohaniawan dan rahib-rahib itu menyuruh berbuat maksiat, menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah sekalipun. Ini adalah bentuk dari penuhanan para rohaniawan dan para rahib dalam masalah penentuan hukum dan perundang-undangan, termasuk dalam penebusan dosa.


Dari apa yang telah kita bahas dalam masalah ini, jelas sekali bahwa dalam membedakan antara konsep tauhid dan syirik dalam prilaku masyarakat kita tidak boleh hanya melihat sisi zahir saja. Harus dibedakan antara perendahan diri, menghinakan diri dan ketaatan yang umum dilakukan oleh masyarakat (‘urf) –seperti perendahan diri (baca: penyembahan) para abdi dalem keraton Solo/Yogya terhadap sang raja- dengan perendahan diri yang masuk kategori ibadah. Sebagaimana harus dibedakan antara sujud para malaikat di hadapan dan untuk nabi Adam, atau sujud nabi Yakqub beserta keluarganya di hadapan dan untuk nabi Yusuf dengan sujudnya para kaum musyrikin di hadapan berhala-berhala (baca: tuhan-tuhan) selain Allah swt. Perbedaan mendasar dari dua bentuk perendahan diri, menghinakan dan ketaatan di atas tadi adalah berkaitan dengan keyakinan akan konsep ketuhanan (uluhiyah) dan pengaturan/pemeliharaan (rububiyah).


Jelas bahwa kaum musyrikin sewaktu merendahkan dan menghinakan diri berupa sujud di hadapan berhala mereka, hati mereka meyakini adanya sifat ketuhanan pada berhala tadi, baik sifat itu ada secara penuh pada sang berhala ataupun sebagiannya saja. Atas dasar itu Allah swt berfirman:


“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”. (QS al-Baqarah: 165):


Sewaktu mereka meyakini bahwa tuhan bikinan mereka itu memiliki sifat-sifat ketuhanan maka akhirnya mereka pun mencintainya persis seperti kecintaan mereka terhadap Allah swt. Dengan kata lain, mereka telah menyamakan posisi Allah dengan tuhan-tuhan palsu mereka. Allah swt berfirman:


“Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata. Karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam”. (QS as-Syu’ara’: 97-98)

Maksud dari menyamakan di dalam ayat tadi adalah menyamakan dalam urusan yang berkaitan dengan Allah swt, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.
Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar