Senin, 05 November 2007

LEZATNYA IMAN

MERASAKAN MANISNYA IMAN

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, Nabi saw bersabda:
“Tiga orang, siapa yang termasuk di dalamnya, maka ia menemukan manisnya iman. (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lainnya, (2) ia tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, dan (3) ia membenci kembali pada kekufuran, sebagaimana ia membenci bila dilemparkan ke api neraka.” (HR. al-Bukhari:15 dan Muslim:60)

Dalam hadits di atas, Rasulullah saw menggunakan istilah ‘halawah’ (manis, lezat) untuk terminologi iman. Hal ini, menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, menunjukkan bahwa seorang mukmin sangat menikmati akan keimanannya. Ibarat orang yang sakit, baginya madu terasa pahit, sedangkan bagi orang yang sehat, madu itu dirasakannya manis sesuai dengan aslinya. Setiap kali kesehatan seseorang berkurang, maka kekuatan pengecapnya pun akan berkurang. (al-Asqalani,1424 H/2004 M:I/77). Begitu pula, orang beriman, ia akan merasakan manisnya iman jika bersih hatinya dan sehat jiwanya. Adapun jika hati dan jiwanya kotor, maka iman yang seharusnya manis dirasakannya pahit.

Sedangkan Syekh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berpendapat bahwa penggunaan ‘halawah’ tersebut mengandung arti bahwa Allah swt menyerupakan iman dengan sebuah pohon, seperti dalam firman-Nya,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh (menghunjam ke pitala Bumi) dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim,14:24)

Menurutnya, ‘kalimat’ dalam ayat di atas adalah ikhlas, pohonnya adalah pokok keimanan, cabang-cabangnya adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, daun-daunnya adalah sesuatu yang selalu dilakukan seorang mukmin yaitu kebaikan, dan buahnya adalah ketaatan. Puncaknya berujung pada buah yang matang. Dari buah inilah, rasa manis itu muncul. (al-Asqalani,1424 H/2004 M:I/77)

Rasulullah saw mensinyalir tiga orang yang dapat merasakan manisnya iman. (1) orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segalanya. Cinta di sini bukan berarti cinta syahwat (hawa al-nafs) yang semu melainkan cinta yang hakiki (al-hubb al-aqli). Cinta yang hakiki selalu menempatkan akal dan hati sebagai barometer pertimbangan. Bagaikan seorang pasien, ia akan memandang perlu untuk meminum obat atau jamu, meskipun itu pahit. Ia berkeyakinan bahwa dengan obat atau jamu tersebut, penyakitnya akan segera sembuh. Begitu pula seorang yang beriman, ia akan tunduk dan patuh pada perintah Allah dan Rasul-Nya, meskipun hal itu begitu berat dirasakannya. Ia percaya bahwa segala sesuatu yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya mengandung kebaikan dan membawa dirinya pada kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Seorang mukmin yang merasakan manisnya iman akan secara totalitas menyerahkan semua kehidupannya untuk Allah dan Rasul-Nya. Ia menyadari bahwa Allah adalah Dzat Pemberi Nikmat dan Rasulullah adalah manusia pilihan yang ditugaskan untuk meyampaikan syariat-Nya. Karenanya, ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya (2) ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan tidak membencinya kecuali karena Allah. Ia yakin betul bahwa semua janji Allah dan ancaman-Nya adalah benar dan pasti adanya. Dengan demikian, orientasi hidupnya adalah untuk mencapai kebahagiaan akherat, yaitu surga. Oleh karena itu, (3) ia tidak mau kembali pada kekufuran, sebab hal itu akan mengakibatkannya terlempar ke api neraka. Kandungan hadits di atas dikuatkan oleh firman Allah swt,
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (التوبة:24)
Artinya: Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." (QS. al-Taubah,9:24)

Cinta Kepada Allah dan Rasul-Nya
Di atas sudah dijelaskan bahwa seorang yang beriman akan menemukan manisnya iman jika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi segalanya. Cinta kepada Allah sendiri, dari segi hukumnya, dapat dikelompokkan menjadi dua; (1) wajib dan (2) sunnah. Cinta yang hukumnya wajib adalah cinta yang mendorong untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya, meskipun hawa nafsu menentangnya. Karenanya, seorang yang beriman dan totalitas dengan keimanannya, ia tidak mungkin terjerumus pada kemungkaran. Maka ketika ia terlena dan lupa sehingga tergelincir pada kubangan dosa, secara otomatis seorang yang beriman akan menyesali perbuatannya. Sebab ketika itu, sesungguhnya keimanannya sedang tiada. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi saw bersabda:
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Seorang tidak berzina ketika ia berzina jika ia dalam keadaan mukmin, dan seorang tidak meminum khamar ketika ia minum jika ia dalam keadaan mukmin…” (HR. al-Bukhari: 87 dan Muslim:2295)

Adapun cinta kepada Allah yang hukumnya sunnah adalah senantiasa mengerjakan amalan-amalan sunnah dan menjauhi segala hal yang syubhat. Secara bahasa, syubhat berarti samar atau tidak jelas. Maka, seorang mukmin seyogyanya menghindari segala aktivitas yang tidak jelas hukumnya menurut agama. Begitu pula mencintai Rasulullah, ada yang wajib dan ada pula yang sunnah. Hanya saja, mencintai Rasulullah memberi pengertian bahwa seorang mukmin harus mengikuti jejak perilaku dan budi pekerti beliau sebagai manusia pilihan yang memiliki suri tauladan yang baik bagi umatnya. Pada hakekatnya, mencintai Allah dan Rasul-Nya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Seorang yang mencintai Allah dituntut juga untuk mencintai Rasul-Nya, sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran,3:31)

Membenci Kekufuran
Keimanan yang tertanam di dalam dada seorang mukmin adalah suatu karunia Allah yang sangat berharga. Keimananlah yang menghantarkan seorang manusia menuju keridhaan-Nya. Karenanya, manusia yang beriman tentu akan menjaga keimanannya tersebut serta berusaha untuk meningkatkan kualitasnya. Ia tidak akan rela jika keimanan tersebut lepas darinya. Karena hilangnya keimanan berarti kekufuran. Kekufuran inilah yang akan menjerumuskan seorang manusia ke jurang api neraka.
Seorang yang telah merasakan manisnya iman akan membenci kekufuran, kendati kekufuran itu berasal dari orang tua atau karib kerabatnya. Sebab orang yang telah menjadikan kekufuran sebagai kawan akan jauh dari rahmat Allah swt. Sebagai orang yang beriman, selayaknya menjadikan nilai-nilai keimanan sebagai basis utama dalam pergaulan. Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا ءَابَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيْمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (التوبة: 23)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Taubah,9:23)
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيْمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ (المجادلة: 22)
Artinya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.” (QS. al-Mujadilah, 58:22)

Meskipun dalam bidang akidah, Islam bersikap tegas terhadap non-muslim,, tetapi dalam bidang muamalah, Islam tetap bersikap toleran untuk memperlakukan mereka dengan baik. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (الممتحنة: 8)
Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah, 60:8) Wallahu A’lam Bis Shawab

Tidak ada komentar: