RUMAH TANGGA
Pembelajaran kepada bangsa Indonesia terus diberikan oleh Allah SWT dengan berbagai peristiwa. Lingkungan yang rusak mengakibatkan banjir, tanah longsor kemarau panjang dan kebakaran hutan. Gempa dan tsunami, gelombang pasang, gunung meletus hingga banjir lumpur Lapindo. Alam telah tidak bersahabat dengan umat manusia. Alat transportasi yang diciptakan oleh manusia seperti pesawat terbang, kereta api, kapal banyak mengalami kecelakaan, dan berakibat pada banyak manusia meninggal dunia. Peristiwa alam maupun kecelakaan dan bencana tersebut sangat berkaitan dengan pola pikir dan prilaku manusia. Ketika manusia mencoba untuk menjadi penguasa dunia dan melakukan percobaan nuklir di bawah tanah, mengeksploitasi sumber mineral dan minyak bumi, menebangi hutan, tetapi tanpa dibarengi dengan upaya pemeliharaan sadar atau tidak, menjadi bagian dari serangkaian sebab malapetaka di atas.
Fenomana alam sebagai guru masih dilengkapi dengan gejala sosial yang terus silih berganti. Akibat bencana lumpur Lapindo misalnya, ribuan orang kehilangan rumah dan pekerjaan. Puluhan sekolah ditutup dan demonstrasi menuntut hak terus-menerus dilakukan. Begitu juga kasus PT Dirgantara Indonesia, Kasus Institut Pemerintahan Dalam Negeri benar-benar menjadi pelajaran kepada kita semua bahwa akhlak bangsa masih jauh dari yang diharapkan. Budaya korupsi yang telah merasuk dalam pikiran, sikap dan prilaku masyarakat telah membawa korban. Sejumlah ulama, ilmuwan dan cendekiawan di “amankan” oleh pihak berwajib di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Belakangan acara “buka-bukaan” dana Departemen Kelautan dan Perikanan di media masa membuat kita tidak percaya lagi kepada siapa kita alamatkan kejujuran dan moralitas itu masih tersisa pada nurani pemimpin bangsa. Keputusasaan atau apatisme muncul di mana-mana. Polisi baku tembak dengan polisi, anak membubuh orang tua, orang tua pun bunuh diri bersama-sama dengan anaknya. Dan, konon, statistik penderita gangguan jiwa terus bertambah tidak saja di kota tetapi juga di desa-desa. Bagimana cara memulai melakukan pembangunan akhlak bangsa tersebut? Akhlak bangsa harus dibangun berdasarkan dasar-dasar pengetahuan al naqliyah dan pengalaman pengetahuan al aqliyah. Pengetahuan al naqliyah bersumber dari wahyu atau firman Tuhan, sedangkan ilmu al aqliyah bersumber dari hasil pemikiran manusia.
Mampukah agama memberikan solusi? Agama sebagai institusi seperti lembaga atau organisasi mungkin sulit. Tetapi agama sebagai “ad dien” atau “ al millah” adalah nasihat. Agama sebagai nasihat sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW tidak pernah berubah. Dalam kaitannya dengan pembangunan mental, moral dan akhlak individu ada sejumlah konsep yang diberikan oleh Al Qur’an. Sebagaimana konsep pendidikan akhlak dalam rumah tangga, Al Quran memerintahkan kepada orang tua agar menanamkan kebiasaan salat sejak kecil (Q.S. Lukman (31): 17-19. Rasulullah SAW menyatakan” Anjurkan salat untuk anak-anakmu tatkala berusia tujuh tahun, dan berikanlah hukuman (ringan) tatkala berusia sepuluh tahun jika tidak melakukan salat dengan baik ( Hadis Riwayat Abu Daud dari Amr bin Syu’aib). Salat harus menjadi kebiasaan individual dan sosial. Perintah salah berjamaah dan kelebihan nilai salat berjamaah merupakan metode trnasformasi kesalehan individuan menjadi kesalehan sosial. Oleh karena itu, orang tua harus mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf dapat dimaknai mengajak kepada kebaikan, sedangkan nahi mungkar berarti mencegah kemungkaran. Kebajikan atau akhlak mulia, luhur atau utama dimulai dari pribadi-pribadi yang menunaikan salat. Mengapa demikian, Al Qur’an menyatakan bahwa “sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan munkar”. Mengapa manusia melakukan dosa dan perbuatan-perbuatan yang munkar atau merusak? Tidak takut kepada Allah, karena tidak mengenal Allah. Salah dalam memaknai hidup di dunia serta tidak mengenal kehidupan di akhirat. Tidak cukup membangun kesalihan individual dan sosial, manusia yang telah dididik dengan salat berkewajiban bersikap sabar. Tantangan dan godaan yang dihadapi oleh umat manusia pada masa menjelang kiamat ( kala bendu), yakni orang yang baik dan benar dianggap penghianat, koruptor dianggap pahlawan, penjahat dihormati dan ditaati sedangkan orang salih ditinggalkan, maka kesabaranlah yang dapat dipergunakan untuk pintu masuk menemukan kebenaran.
Perintah Allah, agar tidak memalingkan muka kepada manusia dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (Q.S.Lukman: 18) merupakan pelajar akhlak yang mulia. Dewasa ini siapa yang melihat manusia sebagai manusia (hamba Allah)? Pada masa kapitalisme global seperti sekarang ini manusia tidak lebih hanyalah alat produksi. Manusia dipilah-pilah berdasarkan job atau tugas untuk menghasilkan produk. Ada kelas pemilik (CEO), direktur, manajer dan staf yang bekerja pada tataran kerja halus (white colour) dibedakan dengan kelas pekerja, pelaksana yang mengandalkan produktifitasnya pada kekuatan dan keringat. Terdapat perbedaan perlakuan dan fasilitas yang mencolok diantara keduanya. Akibatnya, kemiskinan terjadi di mana-mana dan jumlahnya terus meningkat. Kepekaan sosial terhadap sesama hamba Allah hanya dapat terwujud jika manusia memperhatikan pengajarannya :”sederhanakanlah dalam perjalanannmu, dan lunakkanlah suaramu, karena senungguhnya sejelak-jeleknya suara adalah suara himar (Q.S. Lukman: 19).
Ajaran Rasulullah SAW kepada kita:”hendaklah engkau tawadhu’ (rendah hati), sehingga tidak ada seorangpun bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang menganiaya orang lain ( H.R. Muslim dari ‘Iyad bin Himar). Hadis yang lain dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda” Maukah engkau aku beritahu tentang penghuni neraka? Mereka adalah orang-orang yang berlaku kejam, rakus dan sombong” (H.R. Muttafaq Alaih dari Haritsah bin Wahab). Inilah inti akhlak mulia yang disampaikan oleh Allah dan Rasulnya yakni saling hormat menghormati, tidak ada penindasan dan kesombongan kepada sesama. Sayangnya, ajaran semacam ini sudah sangat jauh diabaikan. Bahkan oleh kalangan mereka yang mengaku sebagai pengikut sang Nabi . Sikap dan perilaku manusia “ homo homini lupus” telah menjadi budaya, termasuk di kalngan muslimin sendiri.
Ketika di masjid, majlis taklim, atau upacara sumpah jabatan, ajaran akhlak terasa seperti angin surga. Bahkan tidak sedikit para pengkhutbah, penceramah yang merasa telah melakukan perubahan ke arah al akhlak al karimah. Padahal mereka baru menyatakan sesuatu berkaitan dengan akhlak baik melalui lisan maupun tulisan. Membangun akhlak, apalagi akhlak bangsa, (nation character building) tidak bisa dilakukan dan mengandalkan pada pendidikan di lingkungan sekolah atau masyarakat. Pendidikan akhlak mesti dimulai dari keluarga. Keluarga, dibangun dari dan atas dasar kesepakatan ibu dan bapak, yakni individu-individu yang sadar akan statusnya sebagai bapak dan ibu gerenarasi masa mendatang. Kalau orang-orang yang berstatus sebagai ibu dan bapak juga tidak bisa diteladani lalu kepada siapa anak-anak bangsa ini mesti belajar? Orang tua yang tidak dapat diteladani memberikan sumbangan besar bagi munculnya generasi tidak berakhlak. Bahkan orang tua yang demikian diancam oleh Allah dengan tidak akan ditegur atau disapa oleh Nya. Rasulullah SAW bersabda: “ Ada tiga golongan manusia yang tidak ditegur, tidak dibersihkan dan tidak diperhatikan oleh Allah pada hari kiamat yaitu: orang tua yang berzina, penguasa yang dusta dan orang melarat yang sombong. (H.R. Muslim dan Abu Hurairah).
Pendidikan agama atau akhlak di sekolah dan masyarakat merupakan komplemen terhadap pembangunan akhlak dalam rumah tangga. Jika keluarga berhasil memberikan dasar akhlak yang baik, sekolah dan masyarakat menjadi penyempurna. Perangaruh negatif terhadap akhlak di masyarakat seperti penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), perkelaian (tawuran), perjudian dan premanisme sebenarnya hanya berhasil di lingkungan keluarga yang gagal mendidik akhlak anak-anak mereka. Di sinilah betapa pentingnya membangun akhlak generasi muda bangsa melalui keluarga. Orang tua yang tidak sempat memberikan waktu untuk anak-anak untuk mendongeng, salat berjamaah, senda gurau dan bermain peran dengan baik akan ditinggal oleh anak-anak mereka. Orang tua akhirnya akan kesepian, sedangkan anak-anak mereka akan menjadikan film, berbagai macam game (PS2), gang remaja, dan berbagai macam perkumpulan sebagai sahabat dan guru mereka.
Membangun kedekatan dengan anak-anak, menempatkan diri sebagai guru dan teman, menjadikan orang tua sebagai guru utama dalam rumah tangga. Buahnya adalah ketenangan batin, kepercayaan diri, dan cinta kasih berkembang dengan baik dalam keluarga. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim sebagimana di dalam Al Qur’an senantiasa berdoa: “ Rabbana hablanaa min azwajina wa dzurriyatinya qurrata a’yunin wajalna lilmuttaqina imama. Rabi ij’al ni muqima al shalati wa min dzurriyati rabbana wataqabbal du’a”. Sebuah permohonan orang tua agar keluarganya (isteri dan anak) berakhlak mulia (indah dipandang) dan dijadikan pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Doa itupun diakhiri lagi dengan permohonan agar diteguhkan sebagai individu dan marga yang senantiasa menegakkan salat. Walallahu a'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar